SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Sejak 1996, Suswaningsih berhasil 'menyulap' lahan di Kelurahan Karangwuni dan Melikan di Kapanewon Rongkop Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari yang sebelumnya tandus dan berbatu, menjadi lahan hijau yang bermanfaat dan produktif. Mengingat jasanya tersebut, pada 15 Oktober 2021 Ibu Suswaningsih yang bekerja di Penyuluh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kapanewon Rongkop menerima penghargaan Kalpataru untuk kategori pengabdi lingkungan.

Menurut Suswaningsih, kendala terberat yang dihadapi adalah mengubah sikap dan perilaku masyarakat untuk mau memanfaatkan lahan yang kritis menjadi produktif. Ia juga menjelaskan, untuk pemanfaatan lahan nonproduktif, dirinya mengajak masyarakat mengembangkan tanaman pangan dan kayu-kayuan, serta mengembangkan tanaman lokal.

Sejak 1996, dia mengajak warga untuk menggarap lahan nonproduktif. Lahan yang digarap seluas lima hektare (ha) untuk jenis tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan dengan sistem tumpangsari luas lahannya 903,7 meter persegi, dan untuk lahan pengembangan konservasi seluas 203 ha.

Suswaningsih adalah salah satu sosok perempuan pejuang lingkungan dari sekian banyak tokoh perempuan lokal (local hero). Sebut saja, Mama Aleta Baun, aktivis lingkungan untuk hak-hak masyarakat adat penentang penambangan marmer di Nusa Tenggara Timur. Lalu, Adriana Meraudje, salah satu dari banyak perempuan Enggros pelestari hutan. Ada pula Dr. Karlina Supelli, seorang astronom sekaligus filsuf yang memperjuangkan hak masyarakat adat dan lingkungan hidup. Dan masih banyak lagi perempuan maupun komunitas yang dipimpin perempuan sebagai pionir dalam mengatasi perubahan iklim.

Perempuan telah diakui memiliki peran yang setara dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan perubahan iklim misalnya, secara internasional Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) mengakui pentingnya kesetaraan pelibatan antara perempuan dan laki-laki, dalam kebijakan iklim yang responsif gender, melalui suatu agenda khusus yang menangani masalah gender dan perubahan iklim, termasuk menuangkannya dalam Perjanjian Paris 2015.

Namun demikian, peran perempuan masih cenderung diabaikan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Kendala yang dihadapi perempuan adalah persoalan kemiskinan struktural, peran ganda sebagai ibu, dan kurang memiliki akses dalam pengambilan kebijakan publik. Meski dalam hal isu perubahan iklim, baik perempuan dan laki-laki sama-sama dirugikan dan berpotensi menjadi pelopor dalam perubahan iklim, secara sosial peran perempuan masih rentan.

Oleh karena itu, pemerintah berkomitmen meningkatkan peran perempuan dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Salah satunya, dengan menyusun Dokumen Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI). Dokumen publik tersebut secara resmi diluncurkan pada Kamis (28/3/2024) di Jakarta.

“Seperti peribahasa pucuk dicinta ulam tiba, dokumen RAN-GPI merupakan salah satu jawaban penting dalam upaya kita memperkuat kerja-kerja mitigasi dan adaptasi pengendalian perubahan iklim melalui strategi dan kegiatan RAN-GPI yang diuraikan secara sistematis,” ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Halaman :
Tags
SHARE