SHARE

ilustrasi

CARAPANDANG.COM – Ombudsman Republik Indonesia mendorong Kepolisian RI (Polri) membuat standar operasional prosedur (SOP) pemeriksaan penyandang disabilitas dalam tiap proses hukum termasuk penyidikan.

"Pembentukan SOP penting, karena pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2019, PP No. 39 Tahun 2020, yang keduanya menginduk pada Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas," kata Anggota Ombudsman Republik Indonesia Dr Johanes Widijantoro saat jumpa pers secara virtual sebagaimana diikuti, di Jakarta, Senin (28/6/2021).

Johanes mengusulkan SOP itu dapat dibentuk lewat peraturan internal yang diteken oleh Kapolri atau pejabat tinggi di kepolisian.

Dorongan untuk membentuk SOP khusus bagi penyandang disabilitas muncul, setelah Ombudsman menemukan bahwa belum adanya standar pemeriksaan dalam penanganan laporan di kepolisian terkait penyandang disabilitas.

Temuan itu diperoleh dari hasil kajian cepat (rapid assessment) yang dilakukan Ombudsman RI pada April-Mei 2021 di tujuh lokasi, yaitu Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, Polda Sulawesi Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Riau, Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Semarang, dan Polres Kota Manado di Sulawesi Utara.

Hasil penelitian dan saran-saran perbaikan terkait masalah itu, telah diserahkan Ombudsman ke perwakilan dari tujuh kantor kepolisian yang jadi lokasi kajian serta Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.

Di samping SOP, Johanes juga menyoroti masalah kurangnya pemahaman dan kepekaan penyidik terhadap penyandang disabilitas.

Problem tersebut pun berpengaruh pada isu lain yang juga jadi temuan Ombudsman, antara lain belum ada anggaran khusus untuk pemenuhan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas; kurangnya koordinasi/kerja sama antara kepolisian dan jejaring organisasi disabilitas terkait pemberian pendampingan bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum; serta belum terpenuhinya sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas, misalnya ruang khusus pemeriksaan, media/alat bantu yang mendukung penanganan laporan serta proses pemeriksaan.

Temuan lain, yang berpotensi jadi maladministrasi di kepolisian, yaitu belum ada petugas/penyidik yang punya kualifikasi tertentu menangani laporan hukum dari penyandang disabilitas.

Terkait temuan-temuan itu, Ombudsman pun tidak hanya mengusulkan pembentukan SOP penanganan laporan hukum penyandang disabilitas, tetapi juga adanya perhatian pada anggaran, sarana dan prasarana, serta peningkatan kemampuan penyidik, sehingga mereka dapat memahami kebutuhan penyandang disabilitas saat menjalani proses hukum.

Ombudsman juga mengusulkan agar kepolisian menyediakan pendamping serta penerjemah dalam proses penyidikan bagi kelompok disabilitas; menyediakan ruang pemeriksaan khusus yang ramah penyandang disabilitas; serta mengembangkan metode komunikasi audio visual jarak jauh demi memberi kemudahan bagi kelompok disabilitas yang sulit hadir pada proses penyidikan.

Terkait temuan-temuan itu, Johanes berharap kepolisian dapat cepat merespons hasil kajian Ombudsman demi mencegah adanya potensi maladministrasi serta mewujudkan amanat PP No. 70 Tahun 2019 dan PP No. 39 Tahun 2020.

Sejauh ini, Ombudsman mengatakan pihaknya belum pernah menerima aduan maladministrasi pada proses penyidikan dari kelompok disabilitas.

Terkait saran dan hasil kajian Ombudsman itu, pihak kepolisian belum dapat langsung dihubungi untuk diminta tanggapannya.