SHARE

Indonesia

CARAPANDANG.COM - “Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah,” pesan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Minggu (15/3/2020). Pembatasan Sosial yang dilakukan guna memutus rantai penyebaran Covid-19, bukan berarti libur dan tidak melakukan pembelajaran. Pembelajaran jarak jauh serta belajar daring dapat dilakukan.

Tri Pusat Pendidikan (sekolah, keluarga, masyarakat) berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Peran keluarga diantaranya seperti diungkap oleh R.A. Kartini melalui pernyataannya, “Sekolah-sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal.”

Hal senada dapat dimaknai dari pernyataan Ki Hadjar Dewantara yakni “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Bagaimana peran dari orang tua untuk turut mencerdaskan serta membentuk ekosistem pendidikan di rumah.

Seperti dilansir Majalah Tempo edisi 30 Maret-5 April 2020, pendidikan di Indonesia tercatat menempati peringkat 13 termahal di dunia. Namun apakah hal tersebut sejalan dengan kualitas pendidikan di negeri ini? Bisa ya dan bisa tidak. Dikarenakan disparitas, kesenjangan pendidikan itu begitu terasa. Simak saja 25,5% yang buta huruf di Indonesia adalah orang Papua. Memang dari pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak tinggal diam. Terdapat sejumlah kebijakan afirmasi. Di antaranya Program Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM), yang memungkinkan peserta didik dari Papua dapat mengenyam pendidikan di Pulau Jawa.

Pendidikan yang mahal, kesenjangan akses pendidikan; bisa jadi menemui momentum hulunya manakala perihal edukasi kurang kontribusi dari pihak keluarga. Ranah keluarga sekadar “melepas”, menitipkan anak untuk menimba ilmu di sekolah. Sedangkan ketika berada di rumah, ekosistem pendidikan tidak terbentuk. Contohnya Gerakan Literasi, apakah di rumah telah mendukung pula kebijakan ini? Sudahkah tersedia buku-buku sesuai genre umur anak? Sudahkah tersedia alokasi khusus untuk membeli/investasi buku? Atau jangan-jangan buku dipandang sesuatu yang tidak penting-penting amat. Maka minat baca peserta didik bisa jadi tak kuncup karena di rumah tidak tersedia buku-buku yang berkorelasi dengan alam pikiran anak. Lalu mereka bertumpuk dengan buku-buku pelajaran (yang bisa jadi membosankan), PR, dan sebagainya.

Maka momentum pembatasan sosial ini seyogianya menjadi refleksi. Telahkah “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah?”