SHARE

Kepala Instalasi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, dr Kunthi Yulianti, SpF. (istimewa)

CARAPANDANG.COM – Jenazah positif COVID-19 dalam penanganannya harus melalui proses desinfeksi dan dekontaminasi secara berkala sebelum dimakamkan. Hal ini dijelaskan oleh Kepala Instansi Kedokteran Forensik RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, dr. Kunthi Yulianti.

Menurut Kunthi, setelah dilakukan berbagai proses tersebut, jenazah dikalim tyidak berbahaya bagi masyarakat. Untuk itu, kata dia tidak perlu ada penolakan bahkan hingga mengucilkan keluarga korban untuk menghindari tertularnya COVID-19.

“Tidak berbahaya (jenazah COVID-19, karena Sebelumnya dilakukan penatalaksanaan di rumah sakit berupa desinfeksi dan dekontaminasi. Maka sebenarnya tidak perlu menolak jenazah dan mengucilkan keluarga untuk menghindari COVID-19 tapi harusnya tetap saling peduli satu sama lain. Bila dilakukan penatalaksanaan dengan desinfeksi dan dekontaminasi virus ini akan mati,” kata dr Kunthi saat dikonfirmasi di Denpasar, Senin (20/4/2020).

Ia menjelaskan proses desinfeksi adalah upaya untuk mengurangi dan menghilangkan kuman pada tubuh, sedangkan dekontaminasi merupakan upaya menghilangkan atau mengurangi kuman pada diri dan benda benda di sekitarnya.

Kata dia, desinfeksi dilakukan pada tubuh jenazahnya dan dekontaminasi itu untuk benda- benda yang ada di sekitar jenazah.

Apabila jenazah positif COVID-19 tidak melewati proses desinfeksi dan dekontaminasi maka masih berpeluang menyebarkan virus tersebut terutama dari cairan atau lendir saluran nafasnya.

“Jenazah memang sudah tidak bernafas atau batuk, tapi cairan atau lendir saluran nafas masih bisa keluar. Selain itu permukaan tubuhnya juga mungkin masih ada virus yang menempel akibat dia batuk atau bersin atau mengaruk - garuk daerah hidung kemudian memegang tubuh yang lain atau barang-barang di sekitarnya. Makanya dilakukan desinfeksi pada tubuh jenazah dan dekontaminasi pada barang-barang di sekitarnya serta penutup jenazahnya,” jelas dr Kunthi.

Ia menambahkan, jika jenazah kemudian langsung dirawat oleh keluarganya seperti melalui proses dimandikan atau budaya masyarakat Indonesia pada umumnya, maka ada potensi penularannya dan penyebarannya.

“Memang sebaiknya dilakukan desinfeksi dan dekontaminasi serta sesegera mungkin dimakamkan atau dikremasi. Kalau keluarga akan mendoakan juga dijaga jaraknya baik dengan jenazah atau anggota keluarga lain,” jelasnya.

Untuk proses desinfeksi, pertama memasukkan kapas berisi cairan ke dalam lubang tubuh jenazah agar cairan di saluran nafas, saat jenazah dimiringkan tidak keluar mengotori lingkungan. Kemudian permukaan tubuh jenazah disemprot menggunakan cairan disinfektan. Setelah itu jenazah ditutup rapat dengan menggunakan plastik yang kedap air agar bila ada kebocoran cairan tubuh tersebut tidak mengotori lingkungan.

Selanjutnya untuk proses dekontaminasi yaitu dengan menyemprotkan cairan disinfektan ke seluruh permukaan plastik pembungkus jenazah tersebut. Kemudian jenazah bisa dibungkus menggunakan kain kafan. Kemudian, kembali dilakukan disinfektan dan dekontaminasi ulang pada jenazah tersebut.

Setelah itu, jenazah dimasukkan ke dalam peti dan ditutup serta dipaku agar tidak dibuka. Kemudian kembali dilakukan desinfeksi dan dekontaminasi pada jenazah tersebut.

“Artinya proses desinfeksi dan dekontaminasi dilakukan secara berulang sehingga virus mati dan bila diperlukan upacara kematian maka dianjurkan untuk dilaksanakan secara sederhana dengan tetap memperhatikan prosedur kesehatan dari pemerintah sosial distancing dan pshysical distancing,” katanya.

dr Kunthi menegaskan tidak perlu ada tindakan menolak menguburkan atau mengkremasi jenazah bila jenazah sudah didesinfeksi dan petinya didekontaminasi. Maka bila langsung dikubur atau dikremasi semua akan aman.